5.6.14

Pedih Lukaku (Part 1)

  No comments    


Rintikan hujan masih membasahi bumi, aku terbangun didalam sebuah kamar yang asing bagiku. Tubuhku serasa masih merasakan sakit akibat pukulan, memar-memar dan luka jahitan berangsur membaik. Tapi, luka disekujur tubuhku tidak sebanding dengan trauma yang aku rasakan. Kehidupanku dengan dunia luar kini berbeda, aku terlalu takut untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar meskipun dengan orang yang berasal dari negaraku. Kata-kata manis, ajakkan mereka membuatku memilih untuk menghindari mereka. Perubahan ini sungguh cepat terjadi, sehingga aku tidak bisa mengenali diriku kembali. 

Aku mencoba sekuat tenaga untuk bangkit dari tempat tidurku, mereka teman-teman sekamar ku yang mungkin bernasib sama dengan ku mencoba untuk membantuku, tapi aku enggan dengan bantuan mereka. Sebelum aku sampai ke kamar mandi untuk membersihkan diri, aku melihat diriku di cermin, yah..... diriku yang sekarang sudah tak ku kenal lagi wujudnya, diriku yang sudah hancur.

9 bulan sebelumnya

Namaku Erika, aku baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas. Aku dan keluarga berasal dari sebuah keluarga tani di daerah perbatasan wilayah Indonesia dengan negara tetangga. Kami hidup serba kekurangan, namun kami tetap bersyukur apa pun yang kami miliki, kami tetap menjadi keluarga yang utuh dan tidak pernah sedikitpun melanggar aturan agama. Aku adalah anak pertama di keluargaku dan mempunyai 2 orang adik yang juga masih duduk dibangku sekolah. kami bersyukur karena bersekolah pun kami masih mendapatkan beasiswa untuk ketingkat selanjutnya. langkah ku untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi terhenti, selain karena alasan biaya aku juga tidak ingin membebankan kedua orang tua ku.

Awalnya setelah aku lulus aku berencana untuk membantu kedua orang tuaku saja di kebun kami. Meskipun hasilnya sedikit paling tidak beban pekerjaan mereka sedikit terkurangi dengan bantuanku. Sebulan setelah aku lulus, tiba-tiba saja kami didatangi oleh seorang wanita paruh baya yang menawarkan jasa untuk bekerja diluar negeri. Wanita itu menawarkan kepadaku sebuah pekerjaan sebagai seorang buruh pabrik di negara tetangga, dengan tawaran gaji yang berkisar 2 s/d 3 juta perbulannya. Tentu saja tawaran itu sangat menggiurkan berkali-kali lipat dengan pendapatan ayah dan ibu ku jika hanya mengandalkan dari hasil tani kami.

Awalnya ibu menolak, ibu takut jika aku bekerja di negara tetangga tidak sesuai dengan harapan. Maklum saja dari beberapa pemberitaan banyak sekali pekerja Indonesia yang mendapat masalah disana dan ibu takut aku akan bernasib sama. Awalnya aku ragu ingin pergi dan tidak ingin meninggalkan keluarga ku, tapi aku berpikir jika aku pergi kesana aku tidak hanya memperbaiki ekonomi keluarga tetapi juga bisa membangun rumah yang layak bagi keluarga kami. Seminggu berlalu, wanita paruh baya tersebut pun datang kembali, wanita yang disebut dengan Bu Eni itu pun menawarkan pekerjaan yang sama sembari membujuk ibu ku untuk mengizinkan ku bekerja di negara tetangga. Namun ibu ku bersih keras menolaknya.

Aku berusaha untuk membujuk ibu agar mengizinkanku pergi, aku berjanji kepadanya akan sesering mungkin pulang mengunjungi keluarga, aku juga mengatakan kepada ibu kalau aku bekerja sebagai buruh pabrik maka aku mampu untuk memperbaiki ekonomi keluarga serta dapat membangun rumah yang layak bagi keluarga kami. Ibu menangis mendengar semua perkataanku, baginya hidup bersama dengan keluarga yang utuh sudah lebih dari cukup, apa pun yang kami miliki saat ini adalah sebuah anugerah dan ia tidak akan menyia-nyiakannya. Aku terus berusaha meyakinkan ibu, dari hari ke hari, sehingga entah berapa kali Bu Eni menghampiri kami dan memintaku untuk ikut bersamanya.

8 hari setelah terakhir kali Bu Eni datang ke keluarga kami, ibu akhirnya mengizinkan aku untuk bekerja di negara tetangga dan ikut Bu Eni. Mendengar hal tersebut, aku pun senang. Dalam angan-anganku sudah terbayang bagaimana nantinya aku bisa sukses membanggakan kedua orang tua ku dan keluargaku. Aku pun menghubungi Bu Eni yang ku tau sebagai sponsor ku untuk bekerja di negara tetangga. Aku tahu ibu masih sedih dan sering menangis disaat sebelum keberangkatanku, tapi aku harus tetap berangkat demi memperbaiki ekonomi keluargaku. Oleh Bu Eni, aku disiapkan pembuatan dokumen untuk keberangkatan ke luar negeri tanpa dipungut biaya apa pun termasuk biaya transportasi. Bu Eni berkata kepada ku semua biaya itu ditanggung olehnya, karena ia berniat baik untuk membantu ku sehingga tidak ingin membebankan biaya sedikit pun ke keluargaku, aku sangat berterima kasih sekali dengan bantuan Bu Eni, tidak ku sangka ia sangat baik terhadap ku.

8 bulan sebelumnya

Hari keberangkatan ku pun telah tiba, ibu telah mempersiapkan semua barang-barang bawaan ku. Aku datang memeluk ibu dengan erat, hingga tak terasa aku telah menitihkan air mata ku. Ibu menangis dengan terisak sambil memohon kepada ku untuk mengurungkan niat pergi bekerja ke negara tetangga, aku pun kembali mengingatkan ibu akan janji-janji ku kepadanya dan keluarga ku

"ibu, erika pergi hanya sebentar, erika janji akan sesering mungkin pulang bertemu keluarga" kata ku sambil menitihkan air mata
"ibu, hanya tidak ingin terjadi sesuatu hal terhadapmu nak"  perkataan ibu sambil menangis.
"tidak akan terjadi apa-apa dengan erika bu, bu eni akan menjaga erika dengan baik".

ibu pun melepaskan pelukkannya, entah bagaimana pelukan ibu saat itu terasa hangat sekali, seolah aku enggan untuk melepasnya dan ingin terus berada dipelukkan ibu. Bu Eni telah siap menungguku di depan rumah dengan menggunakan sebuah van yang didalamnya juga berisi beberapa orang. Aku berpamitan dengan semua keluarga ku yang mengantar ku sampai kedepan rumah, kecuali ibu. Mungkin ibu tidak sanggup untuk melihat kepergianku sehingga ia lebih memilih untuk berdiam diri didalam rumah.

Dalam perjalanan, aku terus berpikir tentang bagaimana keadaan ibu setelah ku tinggalkan, apakah ia akan baik-baik saja? Aku menyadari didalam van kami terdapat beberapa orang lainnya, namun anehnya selama perjalanan tersebut tidak seorang pun yang memulai pembicaraan. Aku melihat ke sekelilingku, masing-masing mereka membawa barang-barang seolah mereka akan berpergian jauh dan lama, aku memberanikan diri untuk melempar senyum ke seorang wanita yang duduk tepat di sebelahku

"permisi mbak, baru pulang cuti mbak?" tanyaku
"oh, nggak baru aja mau masuk kerja" jawabnya

Mendengar jawaban wanita tersebut aku pun berpikir mungkin mereka semua ini juga sama dengan ku.

"erika, bangun.. bangun.., ayo cepat pindah mobil satu lagi" bu eni membangunkan ku.

Masih setengah sadar karena aku tertidur dalam perjalanan, sambil bergegas mengambil semua barangku untuk segara dipindahkan ke mobil yang satu lagi. Mobil itu agak kecil lebih tepatnya mobil pribadi. Aku tidak tahu pasti dimana tepatnya daerah ini, semua dalam keadaan gelap karena memang saat itu masih tengah malam, aku pun memberanikan diri bertanya kepada bu eni.

"bu eni, ini dimana bu? kok kami disuruh pindah?"
"udah kamu jangan banyak tanya, ikutin aja, udah kamu cepat masuk" kata bu eni.

Perkataan bu eni membuat ku takut, karena bu eni yang ku kenal tidak pernah berkata kasar seperti ini. Semua orang yang berada didalam mobil tadi pun tidak berkata sepatah kata pun.

"kalian ikut dengan pak deni, semua paspor kalian sudah saya berikan ke dia, saya hanya mengantar kalian sampai disini" perintah bu eni.
"lho bu, kok sampai disini saja, katanya ibu akan mengantarkan sampai ke tempat kerja bu?" tanyaku.
"kamu ikut dengan pak deni, nanti semua dia yang akan atur disana" jawab bu eni membentakku.
"klo gitu, saya ikut bu eni pulang saja saya gak mau ikut orang lain" pinta ku sambil menahan tangis.
"kamu mau buat saya rugi? saya sudah habis berapa banyak buat kamu?" teriak bu eni sambil menutup pintu mobil dan menyuruh pak deni untuk jalan.

Saya tak tahan untuk tidak menangis, dengan ketakutan saya hanya bisa menangis dan memeluk tas bawaan saya. Tiba-tiba saja wanita yang sempat berbicara dengan saya berkata

"sudah dek, jangan menangis, saya tau kamu pasti ketakutan, tapi tenang aja disini kan ada saya"
"iya mbak, saya takut kenapa kok begini prosesnya kita kayak masuk secara ilegal"
"ya udah kamu tenang aja, ada kami semua, kita akan selalu sama-sama"

Mbak aya, itu nama panggilannya yang kutau saat teman-teman yang lain memanggil namanya. Dengan adanya mbak aya, setidaknya membuatku tenang karena ia selalu melindungiku, saat-saat itu aku merasa ingin sekali pulang dan memeluk ibu, tapi kalau pun aku bisa pulang aku tidak tau berada dimana.

"mbak, sebenarnya kita berada dimana"
"kita sedang melewati perbatasan dek"

"Perbatasan" kata itu seolah membuat ku semakin jauh dari rumah. Aku mulai menyesali keputusan ku, setidaknya apa bila aku berada dirumah aku akan merasa lebih tenang, tidak seperti saat ini. "Ibu maafkan aku, aku ingin memelukmu" gumamku dalam hati. Aku berusaha terus untuk tidak larut dalam kesedihan dan mencoba menenangkan diri, tapi semua itu membuat ku pusing.

Saat mobil berhenti disebuah rumah yang terletak agak jauh dari pusat kota, mbak aya pun mencoba untuk membangunkanku.

"erika bangun, kita sudah sampai"
"dimana ini mbak?"
"kita sudah tidak di Indonesia lagi"

Kata-kata mbak aya membuat ku merasa kosong. Aku sudah tidak di Indonesia lagi, berarti setelah ini aku mulai berdiri dengan kaki ku sendiri, apa pun keputusanku saat ini akan berdampak bagi keluargaku kedepannya. Kini aku berdiri didepan rumah yang tidak aku kenal sama sekali, kami membawa semua barang-barang kami masuk kedalam, seperti arahan pak deni. Aku terkejut, saat aku masuk ke dalam rumah tersebut rupanya tidak hanya kami yang akan menghuni rumah tersebut tetapi sudah ada beberapa orang yang ada didalamnya. Mereka tampak takut dan terlihat lusuh.

"pak deni, ini tempat apa? kenapa banyak sekali orang disini?"
"diam kamu jangan banyak tanya, sudah masuk saja, wanita diruang sebelah sana" perintah pak deni.

Belum habis pertanyaan yang ingin ku tanyakan ke pak deni, tiba-tiba saja mbak aya menarikku dan berkata:
"sudah dek, ikut saja"

Apa yang baru saja aku lihat tadi itu sungguh mengerikan, aku melihat beberapa orang yang menumpuk menjadi satu ruangan tanpa fentilasi udara, bahkan tempat untuk membuang hajat pun menjadi satu dalam ruangan tersebut. Dengan mata terbelalak dan tidak yakin dengan apa yang baru saja ku lihat, aku memberanikan diri kembali untuk menoleh ke belakang, namun tiba-tiba saja pak deni mendorongku dengan kuat sampai aku jatuh tersungkur.

"mau ngapain lagi kamu liat-liat kebelakang? jalan saja dan tidak usah banyak tanya, kalau mau selamat ikuti apa kata saya, dan jangan banyak tanya!"

Mbak aya membantuku untuk bangun, dan menghantar ketempat yang ia minta. Ruang kosong, hanya ada satu keran air, tanpa kasur, karpet, dan juga jendela tidak ku sangka masih bertahan 6 orang wanita sebelum kami didalamnya. Aku menggenggam erat tangan mbak aya, mbak aya pun membalas genggamanku seolah ia merasakan ketakutan ku.

"mbak, aku takut"
"sabar dek, kita akan segera keluar dari sini"

Pak deni menyuruh kami untuk membuka barang bawaan kami, ia menggeledah semua tas-tas kami dan mengambil semua barang-barang berharga, uang, HP, kartu identitas kami dan hanya menyisakan beberapa helai pakaian saja.

"pak mau diapakan semua barang-barang itu" tanya mbak aya.
"diam kamu!"

Pak deni kemudian mengunci kami didalam ruangan tersebut. Kami hanya bisa terdiam dan tidak tau akan berbuat apa, ingin rasanya melarikan diri dari tempat ini, tapi kami sendiri tidak tau ini dimana terlebih lagi semua kartu identitas kami disita oleh pak deni. Aku melihat ke sekelilingku, 6 orang wanita memandang kami dengan tatapan nelangsa, seolah hanya kepedihan yang terpancar dari mata mereka. Aku semakin lemas dan tidak bergairah untuk menggapai impian ku serta janji-janjiku kepada ibu. Ibu, tiba-tiba saja merasakan kehadiranmu disini, ibu aku ingin pulang.